Cerpen: Parakang

Penulis: Irhyl R. Makkatutu

Parakang...parakang...parakang...”
Kami berlari terbirit-birit. Sesampai di rumah kami mengetuk pintu rumah bertubi-tubi. Ayah bangun tergesa. Jalannya gontai. Kami masuk rumah. Kulirik jarum jam, menunjuk angka 11 tepat. Malam telah cukup larut untuk ukuran kampungku. Jika malam telah larut tak ada lagi orang yang berkeliaran. Kecuali yang pulang nonton TV di rumah H. Jamal pemilik TV 14 inci satu-satunya di kampung kami. Jika ingin menonton harus membayar pembeli bensin. PLN belum masuk ke kampung.

Istilah parakang menjadi lelucon kami jika pulang nonton tengah malam. Jika ada yang mengatakan ada parakang atau mendengar suara aneh. Kami akan berlomba berlari sambil tertawa. Meski saat itu wajah kami  pasti pucat. Aku tiga bersaudara, lelaki semua. Hampir seumuran. Kami  suka pergi nonton di rumah H. Jamal.
“Parakang itu hanya mitos, Ayah sendiri belum pernah melihatnya, jangan percaya,” kata Ayah menenangkan kami
“Kata orang, puang Hasming itu parakang,” kataku.
“Itu tidak benar,” kata ayah.

Puang Hasming adalah perempuan tua di kampung kami. Tapi ia masih kuat ke kebun mengambil kayu bakar dan menebang pisang. Namanya Hasmin. Tapi warga, termasuk aku sulit berhentin di huruf konsonan N harus ditambah konsonan G, jadinya Hasming. Paung Hasming juga tak pernah protes jika namanya ditambah huruf G. Mungkin beliau mengira namanya telah betul.

Konon, orang bisa jadi parakang karena membaca mantera yang salah atau tertukar. Ada juga yang berpendapat karena faktor genetik - turun temurun. Parakang adalah manusia jadi-jadian, bisa berubah wujud. Tapi aku sama seperti ayah, tak sekalipun melihat parakang.

Kedua saudaraku juga tidak pernah melihat. Namun aku selalu tertarik jika ada yang bercerita perihal parakang. Rasanya mistik dan misteri. Aku sering berkhayal di rumah kami yang berdinding papan dan berlubang-lubang ada parakang mengintip. Matanya besar dan mulutnya mengeluarkan lendir. Mengerikan. Karenanya aku tak pernah berani tidur sendiri. Kedua saudaraku pun demikian. Jadilah kami satu tempat tidur tiap malam. Hal itu pula yang membuat kami akrab satu sama lain.

Puang Hasming memiliki anak. Namanya Haderia, seumuran aku. Tapi aku tak berani bermain bersamanya. Aku takut jadi santapannya. Ibunya dikenal sebagai parakang yang ganas di kampungku. Parakang suka memakan orang, khususnya bayi. Jika ada orang sakit warga akan datang berbondong-bondong ke rumah si sakit. Begadang hingga pagi. Berjaga-jaga agar tidak ada parakang yang datang memakan si sakit.

Suatu malam di malam Jumat. Kakakku sakit perut. Merontah-rontah, merintih tak tertahankan. Ia muntah di tempat tidur. Aku yang tidur di sampingnya terbangun kaget. Muntahnya hitam pekat dan bau. Sejak malam itu, suara-suara aneh di sekitar rumah bermunculan. Lolongan anjing bersahutan. Pohon cengkeh di depan rumah bergemeretak, padahal angin tak sedang bertiup kencang. Kadang terdengar ada orang yang naik ke tangga lalu mengetuk pintu. Tapi setelah dibuka, tak ada sesiapa. Di belakang rumah lebih gila lagi, suara seperti menyeret ranting-ranting bambu terdengar mengerikan.

Bau asing tiba-tiba memenuhi rumah panggung kami bercampur bau kemenyan. Bau obat dokter bercampur bau obat tradisional. Air yang sudah dituangi mantera bergelas-gelas di dekat kakak pertamaku itu. Mukanya pucat.
“Selama sakit, ia belum pernah kentut? Tanya puang Rakka, sanro terkenal di kampungku.
“Belum pernah,” jawab ibuku dengan suara sedih yang ditekan.
Puang Rakka menarik napas. Ia percaya jika ada orang sakit perut dan kentut berarti sakit perutnya bisa sembuh. Aku tak tahu itu teori dari mana. Apakah memang betul, kentut bisa menyembuhkan sakit perut?

Orang berbondong-bondong datang menjenguk kakakku. Bahkan ketika di rawat di RSUD Bulukumba pun demikian. Koridor rumah sakit penuh. Satpam RS tak berani mengusir karena saking banyaknya orang yang datang menjenguk. Tak sedikit yang bermalam dan tidur di koridor rumah sakit beralaskan koran bekas.

Puang Hasming dan Haderia juga pernah sekali datang menjenguk.  Hanya sebentar mungkin merasa tak enak telah jadi tertuduh memakan kakakku. Semua orang tahu, kalau puang Hasming sekeluarga adalah parakang, meski belum ada yang mampu membuktikannya.

Hanya empat hari kakak sulungku itu mengerang sakit perut. Ia akhirnya menemui ajalnya. Kematian telah menyembuhkannya dari sakit. Isak tangis keluarga pecah. Wajah-wajah duka terlihat memilukan. Ayah lebih banyak diam, namun ia tak menangis hanya murung tak tahu berbuat apa. Buah hati yang menyempurnakannya sebagai laki-laki sekaligus ayah telah berjalan menuju kehidupan sesungguhnya, kehidupan tanpa rekayasa, tanpa kemunafikan dan kebohongan. Sementara ibu, beberapa kali pingsan dan terbujur kaki di samping mayat kakakku.

Keluarga besarku tak kuasa menahan sedihnya. Bahkan ada beberapa orang yang nekat akan menyerang dan membakar rumah puang Hasming yang diduga menyebabkan kakakku meninggal.
“Jumran telah dimakan parakang hingga meninggal, isi perutnya kosong,” opini sepupuku itu kudengar samar.
“Iya saya juga duga begitu,” sahut warga yang berkerumun di depan rumah.
*******

Umurku saat kejadian itu baru menginjak tiga belas tahun. Aku belum mengerti sepenuhnya arti kehilangan. Hanya yang kutahu, sejak saat itu kami tak pernah lagi pergi menonton di rumah H. Jamal. Tak ada lagi kejar-kejaran sepulang nonton sambil berteriak “parakang”. Tak ada lagi ritual tidur bertiga. Tak ada.

Aku dan Haderia tumbuh bersama, menuju kedewasaan. Tapi aku takut berdekatan dengannya. Gelar parakang ibunya masih membayang, jika benar parakang turun temurun, maka Haderia juga adalah parakang. Mata rantai itu tak akan terputus. Puang Hasming telah lama meninggal. Namun warga belum sepenuhnya berani keluar malam seorang diri dan jika ada yang sakit, warga masih berbondong berjaga-jaga. Suara aneh masih sering terdengar di sekitar rumah si sakit.

Haderia tumbuh jadi gadis cantik memukau. Banyak pemuda sering berkunjung ke rumahnya, berharap cintanya. Aku tak sekalipun ke rumahnya. Aku memilih lebih banyak tertunduk jika lewat di depan rumahnya. Bukan lagi karena takut Haderia adalah keturunan parakang. Tapi aku takut menatap matanya. Itu saja.###

Irhyl R Makkatutu

Post a Comment

4 Comments