Ramadan Gelisah

Oleh Irhyl R Makkatutu

“Kita istirahat saja dulu di sini!” pintamu.
Aku yang berjalan tergesa berhenti mendadak. Menoleh ke arahmu. Pandanganku jelas menikammu. Kau tampak kikuk. Namun bukan dirimu kalau tak tersenyum. Peluhmu kau lap dengan telapak. Wajahmu isyaratkan kelelahan.
“Marianti, kita harus cepat, sebentar lagi gumpalan pekat meraja.”
“Istirahat dulu, jangan paksakan menaklukkan perjalanan.”
“Perjalanan kita belum menepi, kenapa berhenti?”
“Kita kumpulkan tenaga dulu,” jawabmu penuh harap.
Kuikuti harapmu. Seperti harapanku bertemu dengan ibu yang tak pernah lenyap dari ruang doaku. Kepulanganku kali ini untuk mencium tangan dan bersujud di kakinya, agar raib segala salah yang pernah kubingkiskan kepadanya.
Hari ini, setelah ribuan musim akhirnya aku pulang. Keinginan pulang selalu jadi gelitik yang terus memanja dalam diriku. Apalagi jika jelang Ramadan ataupun awala-awal Ramadan seperti ini. Aku ingin selalu temui ibu yang mulai rentah dan sakit-sakitan. Ia hidup sendiri setelah suami keduanya meninggal.
Ibu memilih menikah lagi setelah mengetahui ayah juga telah menikah. Pernikahan yang kedua, kedua orang tuaku itulah, ibu yang dinikahi lelaki lain dan ayah yang menikahi perempuan lain membuatku muak dan benci. Hanya saja kebencian tersebut tak pernah kubahasakan kepada ibu. Aku lebih memilih pergi meninggalkan kampung terpencil ini. Pernikahan tersebut telah jadi cerita hitam yang berusaha kubungkus sedemikian rapat. Cemooh warga adalah nyanyian yang memerahkan telinga. Peristiwa itulah yang mengajakku melangkah dari kampung ini. Kampung yang diapit bukit-bukit hijau. Saat itu, hidup merantau adalah jawaban dari kelakianku sesungguhnya. Tak peduli akan kerja apa dan makan apa di rantauan. Tak kupeduli juga jeritan ibu yang melarangku pergi. Sedangkan ayah sejak menikahi perempuan yang dihamilinya di luar nikah tak pernah berkabar. Perbuatan ayah tersebut membabat habis air mata ibu.
Dan kini, aku duduk di tempat yang dulu selalu kusinggahi bersama ayah ketika pulang dari kebun. Sebuah batu besar yang datar. Ayah yang berpeluh akan menunjuk langit. “Kamu harus jadi langit, ia mengagumkan dan tak tersentuh. Tapi jangan pernah membuat ibu menangis. Langit akan murka jika kau melakukan itu.” Saat itu, aku hanya diam memperhatikan ayah yang serius. Memperhatikan lekuk-lekuk di wajahnya yang mulai dijamah keriput. Tapi akhirnya ayah jugalah yang mengajari ibu menangis. Makanya aku benci ayah. Kata-katanya tak sesuai lakunya.
.
*******
“Deang Suddin, ayo kita lanjutkan perjalanan, ibumu pasti tersenyum melihatmu pulang,” ujarmu meleraiku dari lamunan. Bayangan ayah dan ibu mengabur. Aku tersenyum padamu yang telah melepaskanku dari jerat kenangan pilu tersebut. Kau selalu punya cara menjauhkanku dari rangkaian memar luka.
Sebenarnya, kejadian bertahun-tahun silam itu telah mengajariku bersahabat dengan sepi dan mencintai luka. Hingga tak ada seorang hawa yang bisa merasuk ke dalam kehidupanku. Tapi kehadiranmu buatku terkesima. Di parasmu terpampang ketegaran yang murni, di hatimu kutemukan ketulusan yang lama hilang. Aku juga temukan perpaduan ibu dan ayah dalam dirimu. Mungkin karenanya aku mudah takluk padamu. Tanpa sungkan kuceritakan semua beban yang menimbunku ribuan musim. Kau orang pertama yang kuceritakan kisahku. Kisah yang menuntun langkahku ke kotamu yang polusi. Dan berkat bujuk rayumulah, maka sebelum Ramadhan kali ini aku pulang. Aku mengajakmu pulang kampung menemui ibuku yang sebatangkara. Tentu ibu akan sangat bahagia melihatmu.
“Daeng…kita adalah keturunan yang menghargai orang tua, temui ibumu karena bapakmu tak pernah kau tahu dimana. Maka temui dulu ibumu, nanti kita cari bersama-sama ayahmu. Kamu harus minta maaf sebelum sesal merajammu lebih ganas lagi.” Kata-katamu itulah yang meluluhkan egoku, hingga akhirnya aku bersedia menemui ibu. Aku tak ingin Ramadan tahun ini kembali menjadi Ramadan yang mengutus gelisah seperti puluhan Ramadan yang lalu-lalu.
Ibu dan kamu adalah perempuan yang mengajaraku cinta. Ibu adalah pavarty yang menjulang tinggi penuh kasih. Hijau yang menetralisir segala polusi tingkahku yang aneh. Aku yakin doa ibu tak pernah kering. Mendoakan kesehatan dan tentu saja kepulanganku, anak lelakinya dari rantau. Yang juga pernah membuatnya menangis seperti ayah.

*******

“Masih jauh?” tanyamu.
‘Iya masih. Kira-kira setengah jam lagi perjalanan.”
“Oooo,” hanya itu jawabanmu. Tak ada lelah dan penyesalan yang kudapati dari wajahmu, meski peluhmu kembali membanjir. Aku jadi ingat ayah jika berpeluh dari kebun. Dan ibu yang berpeluh di dapur menyiapkan makanan untuk ayah. Ibu adalah perempuan setia dan pengertian yang pernah kusaksikan. Dan ibu juga adalah keganasan yang tak terkalahkan. Itu terbukti ketika ia tahu ayah telah menikah. Tanpa pikir panjang ia meminta cerai lalu menikah juga. Ibu selalu saja mampu keluar dari sepi dan sakit hati yang berlebihan.
Perjalanan yang menurun dengan rumput liar di pinggirannya membuatmu berdecak kagum. Mengagumi indahnya pemandangan. Jalan setapak ini tak ada yang berubah. Masih seperti dulu ketika sering kutelusuri bersama ayah dan ibu. Hanya sedikit bedanya karena ada beberapa baliho yang bertuliskan janji untuk kesejahtraan rakyat.
Setengah jam kemudian, kita akhirnya sampai di rumah panggung yang ditinggali ibu. Aku berlari ke atas, meninggalkanmu di anak tangga pertama. Salamku disambut serak seorang perempuan tua. Itu pasti ibuku. Setelah pintu terkuak, aku menghambur kepelukannya, mencium tangannya dan bersujud di kakinya. Aku lupa memperkenalkanmu sebagai menantunya yang kunikahi tanpa sepengetahuannya. Maaf…Marianti.

Makassar, 30 Juni 2012
(Harian Fajar, Minggu 22 Juli 2012)

Post a Comment

3 Comments