Kerasnya Hidup

Oleh: Andin

Senja. menitikberatkan pada kekasih yang bercumbu pada ilalang demi menghargai waktu, ia pergi tanpa pamit pada ibuku yang masih tua renta.Aku tak mengerti apa yang ada dalam benak kakakku itu. Katanya. ia menyayangi ibu yang sudah lama ditinggal suaminya tepatnya, ayahku. Namun tanpa kejadian yang menitikberatkan dirinya untuk pergi malah mengambil keputusan untuk merantau di Negri orang.

Beberapa bulan kakakku pergi. Sepucuk surat terlampir padaku saat pak pos menyerahkan senja itu. Aku membacanya dan satu pesan dari kakakku bahwa aku satu-satunya penjaga ibu yang harus terjaga ditengah remangnya malam. Ia tak tahu bahwa ibu telah sakit-sakitan disini. Penyakit yang diderita ibuku semenjak kepergiannya setia merongrong tubuhnnya hingga perih dan rindu tertanam dalam hati kecilnnya.Aku sebagai anak yang menjadi tumpuannya berusaha keras untuk membuat ibuku tersenyum meski itu sulit ia berikan.Namun keterpakasaaanlah membawanya meluapkan senyum itu meski hati kecilnnya terus saja menunggu kakakku yang entah tiada kabar sejak surat itu dikirimkan.

Setahun telah berlalu.Aku bergulir akan waktu bersama Ibuku yang sudah tak tahan lagi melawan jenuhnnya menunggu dari anak pertamanya. Senja, kembali bercumbu pada keadaan yang ada di lingkungan desaku. Ketika aku duduk bersama ibu. Tiba-tiba, sebagian warga mengerumuni mobil marcedes benz yang jarang sekali bahkan tak pernah melintasi kampungku membuat para warga asyik menonton mobil mewah itu. Aku tak ketinggalan, terkesima melihat mobil itu. Ibuku pun juga begitu sembari memegang pudakku lalu mendehem batuk yang dideritanya. Begitu pintu mobil terbuka. Seorang pria berbadan kekar menghampiri ibuku ditemani oleh pengawal-pengawal mereka yang tampak kelihatan seram. Jemari ibuku mulai melilit bajuku dengan erat. Seperti halnnya kekhawatiran orangtua yang berlebihan sembari mengira ia memiliki kesalahan fatal dibuatnnya secara rtidak sengaja hingga dihampiri orang asing yang sama sekali tak dikenalnnya.

Sesampainya orang itu disertai pengawal. Langsung saja, ia merundukkan badannya. Menjulang rasa hormat terhadap orang tua. Dengan kekakuan itu, ibu menerima uluran jari seorang pria berbadan kekar. Diciumnnya tangan ibuku sambil merintih tangis sedu tanpa menghiraukan penduduk desa yang berkerumun menyaksikan adegan dramatisir itu. Aku hanya melongo. Tandatanya besar bersarang di batok kepalaku. Siapa sebenarnnya orang ini. Terlintas kakakku yang selama ini kutunggu juga ibu terlebihnnya. Namun hati kecilku menginkari karena kakakku tak mungkin sekekar ini. Tapi siapa orang ini. Pertanyaan itu terus menghantuiku.

Ibu dengan sergapnnya menanyakan profil pria yang tiba-tiba saja datang mencium jemari ibuku. “ Maaf. Aku tidak mengenalmu nak. Siapa kau ini sebenarnnya?”tanyanya penuh lebut.
“ Ibu memang tidak mengenalku. Tapi aku akan terus mengenal ibu. Aku Hardik pesuruh Rian anak ibu, yang sekarang ini menunggu ibu dating padanya”perjelas pria itu. Aku kaget. Kupikir ini semua rekaan kakakku. Mengapa bukan kakak saja yang dating menjempurt ibuku, malah menuruh orang lain, namun ibu tak pernah berpikir sepanjang itu. Tanda cinta dan kasihnnya terhadap kakak. Ia mau saja memenuhi panggilan kakaku yang telah Berjaya di Negeri orang. Entah apa pekerjaannya saat ini, hingga mendatangkan segenap pengawal disertai mobil mewah.

Senja mulai menutup indahnnya. Tak lama ibu diantar pria itu deertai pengawal memasuki kobil. Aku tak ikut dalam perjumpaan kakakku karena kupikir tak ada orang yang dapat menjaga rumah selain aku. Lagipula, aku masih sekolah tak mungkin kutinggal begitu saja.

Seminggu kepergian ibu bersama pria itu. Tak ada kabar sepucuk surat pun. Aku merasa sepi, tak ada suara ibu yang menyuruhku belajar, menyuruhku menyapu halaman dan sebagianya. Tak beberapa lama kemudian, surat dari Pak pos bersandang di depan rumahku. Gesitnnya, kuberdiri dari teras rumahku, “Surat dari kota mana Pak?”tanyaku penasaran.

“Dari Jakarta dek. Silahkan, tandatangani surat notanya”. Pinta pak pos ramah. Dengan lincahnya jariku menggores nota terima itu. Lalu menyobek ujung kertas tanpa memikirkan lagi ujung mana yang mestinya untuk dibuka. Perlahan. Aku baca surat itu. Ternyata disana ibu berjuang keras dengan penyakitnnya. Aku diminta kakakku menyusul ke Jakarta sore itu juga. Tanpa peduli dengan baju sehelai, aku nekat mengunci pintu lalu menuju halte bus delkat kempungku. Tak ada kwatir dalam bis yang ada hanyalah pikirku akan ibu di Jakarta.

Semalaman. Aku bergelut pada malam diatas bus yang kunaiki. Penuh dengan tumpangtindih penumpang, namun tak mengidahkanku untuk lemah dalam perjalanan. Uang yang kubawa hanya seberapa di sakuku. Kulihat jam tangan pemberian Ayah membuat inisiatifku menjualnnya sesampai di Jakarta nanti agar cukup menemui ibu. Subuh buta. Aku telah menginjak kota Jakarta, lampu temaram masih menggenangi kota itu disertai hiasan-hiasan kota yang tak lazimnnya disebut keramaian membuatku pening akan keadaan. Namun aku tetap berusaha gencar mencari alamat rumah sakit yang ditempati ibuku dirawat. Singkat cerita. Aku menemukan kamar ibuku. Kulihat seorang pria yang berbadan kekar itu lagi sergap menjaga di depan pintu kamar ibuku. Kuhampiri ia dengan rasa tegang dan tak mengidahkanku untuk mundur, tiba-tiba saja, dari belakang ada yang memegang bahuku.

“Adik. Mari masuk!” serunya. Aku menoleh ternyata kakakku yang setahun ini tak dapat kujumpai wajahnnya dan tiba-tiba dengan wajahnnya yang bersih merangkulku erat. Sikap cueknnya itu tak pernah hilang meski sudah menjadi manusia di kota orang. Kumasuki kamar itu. Kulihat ibu terlentang tak berdaya, kupeluk ibu dengan isak tangis namun dengan cepat kakak merebahkan tangannya kembali membankitkanku dalam kesedihan.

“ Sudahlah. Doa’kan ibu agar cepat sembuh. Besok kakak mau ke Bandung. Ada pertemuan penting. Kakak harap, kau bisa menjaga ibu selama kakak pergi”pintanya.
“Iya. Kak”sahutku meyakinkan. Ketika itu pula, kakak menjalankan kewajibannya mencari uang meski aku tak tahu pekerjaan apa yang sebenarnnya ia geluti. Aku tak peduli yang jelas ibu sembuh dan bisa ikut pulang bersamaku ke kampong halaman.

Sesaat kakakku pergi. Tinggalah aku merawat ibu. Dua puluh empat jam, aku terjaga di dalam kamar ibuku dirawat agar apa yang ia inginkan dapat kupenuhi. Meski mata sesekali memaksaku untuk memejam. Singkat cerita, ibu tak seperti biasanya, ia memegang tanganku dengan kuatb serasa adrenalinku mencambuk dalam batinku, kubalsa ia dengan pegangan kuat. Aku tak mampu melihat ibu berjuang melawan apa yang ia rasakan, kupanggil dokter yang baru saja rapat di rtuang medisnnya. Aku keluar untuk mempermudah proses pemeriksaan ibuku. Lima jam aku menunggu, tiba-tiba saja dengan muka yang merasa bersalah dokter memberitahuku bahwa ibu btak dapat bertahan lagi. Ia menghembuskan nafas terakhirnnya malam itu. Mendengar pengakuan dokter, aku tak tahu lagi. Untung saja, kakakku yang saat itu ingin ke Bnadung balik kembali mendengar berita ibuku, kupeluk kakakku merasa aku tak punya orangtua lagi di dunia ini. Hanya kakakku satu-satunya tempat aku menopang. Tak lama kemudian, kejadian itu. Polisi dating menangkap kakakku. Ternyata selama ini ia bekerja sebagai Bandar narkoba. Betapa kalut hatiku menjalani hidup seorang diri.

Post a Comment

2 Comments