Sedikit Catatan Refleksi Berdirinya IPASS

Oleh: Irhyl R Makkatutu

Kelahiran selalu juga lahirkan tangis “luka” dan senyum. Keduanya adalah cerita yang tak terpisahkan. Kelahiran akan diiringi tangisan oleh bayi yang lahir dan senyum orang yang menantikannya. Seperti juga kelahiran warga baruku angkatan ke tujuh tahun ini. Disambut demikian. Aku jadi ingat Kelahiranku dulu disambut suka cita, bahkan pandangan sinis. Aku lahir tanggal 29 September 2004. Kelahiranku memadukan dua hal itu “tangis (luka) dan senyum,” meski dalam perjalananku kemudian, lukalah yang dominan memesraiku. Aku dilahirkan oleh 12 orang, tentu kelahiran itu terdengar ganjil, karena biasanya proses dilahirkan hanya melalui satu orang yang kemudian kita namai ibu. Bukan oleh banyak orang seperti kelahiranku dan seperti kelahiran warga baruku tersebut.

Ke 12 orang itu kemudian memberiku nama Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra, yang lebih akrab disapa IPASS, hingga kini di usiaku yang masih terbilang belia dan bahkan belum sempat menikmati masa puber pertama, meski tahun ini telah melahirkan anak “angkatan” ketujuh yang malam ini (30 April 2011) akan pentas perdana.

Usiaku saat ini baru enam tahun lebih. Namun aku telah didewasakan oleh luka dan penderitaan. Padahal di usia seperti itu “ukuran manusia” harusnya aku masih dibuai, diayun, dibuatkan susu oleh bunda, bahkan dibacakan dongeng sebelum tidur dan diceboki. Tapi ke 12 orang yang melahirkanku tak membiarkanku memanja, lemah, mengeluh dan berleha-leha. Kerana sejak dilahirkan aku telah diajari minum darah dan air mata. Sejak lahir hingga kini, aku diajari berkelana, membelai pekat tuk temukan cahaya. Aku diajari menantang gelombang dan mengukir kisahku sendiri. Aku diajari bersahabat dengan luka dan mencintai sepi. Aku diajari menikmati cacian, hinaan, bahkan telah kusaksikan dianggap pembangkan di kampung sendiri. Aku telah melihat bagaimana dicampakkan, merasakan bagaimana di usir dari “kampus”. Tak punya tempat tinggal. Namun semua itu adalah kenikmatan dalam luka untuk mengukir kenanganku. Kian hari, aku tumbuh lebih tegar di tengah gelombang luka itu. Dan aku ingin warga baruku tahun ini, juga akan berani menantang gelombang itu.

Aku juga acap melihat wargaku disapa kebingungan, dicumbui resah, dijamah luka dan terbaring dengan air matanya. Aku kadang gelisah dan iba mendapati wargaku bertengkar karenaku. Bagaimana mereka tak tidur semalaman hanya berpikir apa lagi yang akan diperbuat untukku esoknya, saling curiga, saling menggosip, (khususnya dalam mempersiapkan pementasan perdana warga baruku itu), tapi ternyata dari semua itulah tumbuh pohon cinta yang kuat di antara mereka. Dari perbedaan pendapat yang berujung pada perselisihan itulah tumbuh rasa kebersamaan yang kokoh. Menit ini bertengkar, menit berikutnya kembali menyeruput segelas kopi bersama. Merokok bersama, bercanda dan bahkan menangis bersama. Sungguh keadaan itu terasa nikmat sekalipun mengiris.

Wargaku memang tak pernah kusodori dan kubalut dengan materi, namun mereka tetap mencintaiku dalam tiga pilar, kekeluargaan, kebersamaan dan persaudaraan. Melupakan kepentingan pribadi lalu melakukan segalanya untukku. Tak jarang mereka harus meninggalkan orang tuanya, meninggalkan kekasihnya dan meninggalkan tempat tinggalnya demi berkumpul bersama, berbagi tempat tidur dan makanan. Kening mereka acap kusaksikan berkerut, karena berpikir untuk kelangsungan hidupku. Perut mereka telah akrab dengan nyanyian lapar. Namun semangat tak pernah terkikis dari terpancaran mata mereka, demiku “KEKASIHNYA,” walau tak sedikit wargaku harus terjungkil “nilai akademiknya” ditahan karenaku. Tapi mereka memilih tak meninggalkanku sendiri, menganyam sepi, meski mereka tahu aku telah lama bersahabat denga sepi. Aku kadang menangis mendapati ketulusan itu.

Enam tahun lebih, aku telah terbentuk oleh gelombang luka yang ganas, penuh onak, penuh kematian dan rindu yang menggebu. Kelahiranku, bukan hanya membawa kenikmatan dan kedamaian bagi wargaku, mereka harus berjuang mati-matian menjagaku, membuatkanku makanan bergizi berupa karya. Dan diusiaku yang masih muda, aku telah jadi kebanggaan mereka. Karenakulah, kepekaan tentang kepentingan bersama itu penting. Kreatifitas dan rasa kebersamaan mereka ter-asah tajam. Hanya saja kehadiranku tak semua orang menghendakinya di kampungku, baca “kampus.” Aku anggap “pengacau” padahal kehadiranku hanya untuk berkreatifitas dan berkarya menyongson zaman, tak lebih. Hanya saja semua orang memiliki penilaiannya sendiri, aku tetap dianggap “anak haram,” yang dilarang berkeliaran di kampung sendiri “kampus”. Tapi sekali lagi aku dilahirkan oleh perpaduan luka dan senyum. Hingga anggapan mereka kuanggaplah anila yang hanya datang menayapa sesaat. Aku akan terus melaju, “Tuhan tak akan malu-malu ikut campur dalam kebenaran,” begitu yang pernah diucapkan salah seorang yang melahirkanku. “Tuhan tak akan membawa kita sejauh ini, jika akan ditinggalkan begitu saja, Tuhan pasti akan bertanggung jawab terhadap ciptaannya,” kata itu acap diungkapkan wargaku yang lain, ketika masalah melantakkanku. “Tuhan pasti menitip solusi pada tiap permasalahan yang dibingkiskan kepada hambanya, kita tinggal mencari solusi itu,” ungkapan itu didengungkan bundaku yang lain.

Enam tahun lebih aku tak punya tempat tinggal, tapi wargaku tak pernah meninggalkanku, aku selalu dibawa di pelosok hatinya hingga kini. Namun selalu ada solusi pada tiap permasalahan, disebuah taman “Taman Senja” Multimedia menjadi tempat wargaku berkumpul tiap sore hingga senja berakhir. Dan kini sebuah tempat yang nyaman telah didapatkan untuk tempatku beristirahat, sambil terus mengasah kreatifitasku yang tak mungkin ada yang bisa mengkerangkengnya. Dan tentu warga baruku “angkatan ketujuh” yang malam ini pentas perdana akan melakukan yang lebih baik lagi demi kelangsungan hidupku, karena mereka tahu kelangsungan hidupku ada di tangannya melalui kreatifitas dan karyanya.

luka dan cinta itu pun masih kuternakkan
aku temukan diriku di sana
juga dirimu belepotan, penuh dawat cinta
penuh rindu merindang
lalu aku dan kamu
menyatu dalam KITA
menyelam ke telaga kenangan


Makassar, 30 April 2011

Post a Comment

10 Comments

  1. hmm....sangat menarik gan....terus berkarya ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih. Iya, karena karyalah yang akan mengabaikan segalanya.

      Delete
  2. IPASS itukan didirikan sebagai media Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra. Nah yang masih mengganjal di benak Saya adalah dilahirkan oleh 12 0rang maksudnya IPASS itu sendiri atau ente gan?? wkwkwk. Maaf kalo Saya ingin sedikit mengorek kehidupan pribadi Anda, silahkan jawab jika berkenan. Melihat postingan diatas, sungguh kurang ajar kalo Saya tidak pandai mensyukuri apa yang telah Saya dapat dan rasakan. thanks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heheheheeee.... Makasih atas kritikan dan komentarnya.
      IPASS memang media untuk pemerhati seni dan sastra. Persoalan ilahirkan oleh 12 orang itu adalah pengandaian. IPASS ini didirikan oleh 12 orang. Kata AKU dalam tulisan di atas adalah suara hati IPASS itu sendiri dari pendirinya. Yang mengibaratkan jika apa yang dialami dan dilalui oleh lembaga ini seperti yang tergambarkan di atas.
      Lagi-lagi itu adalah bahasa sastra.

      Delete
    2. Wah bagus bahasa-Nya sob dalem, hehe ane sih masih banyak kurang-Nya kalo sudah ngomongin sastra tapi tertarik. Semoga IPASS makin jaya, dan dapat menjadi penginspirasi anak-anak yang kurang beruntung juga diluar sana agar bisa bergabung.

      Delete
    3. Makasih banyak sob. Sering-sering berkunjung ya....

      Delete
  3. hooo... numpang liat-liat ka dulu nah

    ReplyDelete
  4. ryan ipass dg tawangJul 10, 2012, 8:57:00 AM

    salah 1 poin penting dlm 2 pilar adalah "kebersamaan", saudara2ku (andi2ku), jngan sllu mengartikan bahwa kebersamaan itu mesti raga & jiwa qta sllu bersama. wlo kami jauh dari kalian, hati kami sllu ada bersama kalian. tetaplah semangat berkarya meski kami jauh dari klian

    ReplyDelete