Penulisan Karya Ilmiah: Aspek Kebahasaan dan Etika (Part 1)

Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis yang berbeda, yang menimbulkan kesulitan bagi orang yang menulis karaya ilmia. Dalam hubungannya dengan ragam tulis kara ilmiah, kesulitan dirasakan karena laras bahasa teks mengharuskan digunakan bahasa yang berciri tepat, singakt, jelas, teratur, dan baku.

Berikut ini secara singkat disajikan perangkat kebahasaan dan patokan penggunaannya dalam penulisan karya ilmiah, yang perlu menjai acuan pada aspek kebahasaan dan etika penulisan karya ilmiah.

1. Bahasa baku
Ciri pertama ragam bahasa baku memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tepat. Baku atau standar tidak dapat beruba setiap saat.
Ciri kedua yang memadai bahasa baku adalah kecendekiaannya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran yang teratur, logis dan masuk akal.
Ciri ketiga pembakuan bahasa ialah adanya penyragaman kaidah, bukan penyamaan bahasa atau penyeragaman variasi bahasa.

2. Fungsi bahasa baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif: (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebaga kerangka acuan.

Fungsi pemersatu adalah bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyrakat bahasa dan meningkatkan proses indentifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyrakat itu.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa yang lain, karena fungsi itu bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan.

Fungsi pembawa wibawa bersangkuta dengan usaha orang mecapai kesederajatan dengan oeradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri, sedangkan bahas baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah yang dikodifikasi yang jelas. Norma dan kaidan itu menjadi talak ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan.

3. Ciri bahasa indonesia baku
  1. Pemakaian prefiks me- dan ber- secara eksplisit dan konsisten. Contah: penyakit menyerang kapung itu (baku). Penyakit serang kampung itu (baku)
  2. Pemakaian fungsi gramatikal (subjek, predikat dan sebadainya) secara eksplisit dan konsisten. Contoh: Ia pergi kekantor (baku). Ia kekantor (non baku)
  3. Terbatasnya unsur-unsur lesksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan bahasa-bahasa daerah yang belum dianggap belum unsur bahasa Indonesia.
  4. Pemakaian konjuksi bahwa dan karena secara eksplisit dan konsisten. Contoh: saya tahu bahwa saya tidak lulus (baku). Saya tahu saya tidak lulus (non baku); Engkau tidak mempercayainya karena ia penipu (baku). Engkau tida mempercayainya, karena ia penipu (non baku).
  5. Pemakaian pola frase verbal + agen + secara konsisten. Contoh: sudah engkau baca surat itu (baku). Engkau sudah baca surat itu (non baku).
  6. Pemakaian konstruksi sintesis. Contoh: harganya (baku). Dia punya harga (non baku); Membersihkan (baku) Bikin besih (non baku). Mereka (baku) Dia orang (non baku).
  7. Pemakaian partikel – kah dan pun bila ada secara konsisten. Contoh: bagaimanakah kasus itu ? (baku). Bagaiman kasus itu? (non baku); Mereka pun pergi (baku). Mereka pergi (non baku).
  8. Pemakaian unsur leksikal berikut berbeda dari unsur-unsur yang memadai bahas Indonesia non baku. Contoh: silakan (baku) Silahkan (nonbaku). Serasi (naku) Serasih (nonbaku).
  9. Pemakaian polaritas tutur sapa yang konsisten, saya, tuan, saudara dan sebagainya.
  10. Pemakaian istilah resmi.
  11. Pemakaian Ejaan yang Disempurnakan (EYD).

4. Sifat Bahasa Tulis.
Seperti diketahui bahwa sistem tulisan merepresentasikan bahasa yang berupa kesan bunyi menjadi bentuk grafis, yang merupakan kesan visual. Dengan demikian, apabila bahasa itu duwujudkan dalam bentik grafis, akan muncul bahasa tulis.

Disamping kekurangan bahasa tulis sebagaimana dikemukakan di atas bahasa tulis mempunyai kelebihan. Bentuk grafis kata-kata yang dirangkaikan dalam kalimat secara gramatikal terlihat sebagai suatu yang tetap dan stabil. Dibandingkan dengan bunyi, bentuk-bentuk grafis itu lebih cocok menerangkan kesatuan bahasa sepanjang masa.

Pemakaian bentuk bahasa pada tingkat morfologis, sintaksis, dan semantis dalam bahasa tulis dapat lebih cermat dikontrol oleh penulis sehingga pemakaian bentuk bahasa tersebut sesuai dengan kaidah gramatikal. Hal itu dapat dilakukan penulis berkat adanya waktu dan kesempatan untuk membaca dan membetulkan kembali kalimat-kalimatnya jika terdapat kesalahan. Dengan adanya waktu dan kesempatan ini pula penyampaian pesan komonikasi dalam bahasa tulis dapat dilakukan secara lebih sitematis.

5. Aspek Kebahasaan dan Etika
Aspek kebahasaan dan etika dalam karya ilmiah yang khusus terlihat dalam pemilihan dan pemakaian kata serta bentuk-bentuk gramatikal, terutama dalam tataran sintaksis. Kosakata dalam bahasa ilmiah bersifat denotatif, artinya setiap kata hanya mempunyai satu makna ang paling sesuai dengan konsep yang akan disampaikan. Kalimat dalam karya ilmiah bersifat logis. Hubungan antara bagian-bagian kalimat dalam kalimat tunggal atau hubungan antara klausa-klausa dalam kalimat kompleks mengikuti pola-pola bentuk hubungan logis.

Bahasa karangan ilmiah selaian harus memenuhi kaidah-kaidah umum bahasa Indonesia haru juga memenuhi syarat-syarat khusus sehingga mempunyai ciri-ciri tertentu diantaranya:
  • Nada tulisan ilmiah bersifat formal dan objektif.
  • Lazim dipakai titik pandang nara (person) ketiga serta ragam (voice) pasif.
  • Titik pandang nahu (gramatikal point of view) harus taat baik mengenai ragam (voice) dan modus, maupun mengenai nara (person) dan kata gantinya (pronom).
  • Kalimat dalam dan pragraf dalam karangan ilmiah panjang dan sedang.
  • Pemakaian majas terbatas.
  • Karangan ilmiah lazim menggunakan gambar, diagram, daftar, peta, dan analisis ilmu pasti.

Post a Comment

0 Comments