Sastra: Rehat Eksistensi Kita!


Oleh: I. A. F Teeliy

****
“Betapa ia ingin meyetubuhi kesunyiannya. Ia ingin segera lelap. Tapi matanya terus menajam. Ia hanyalah peyair yang tak bisa tidur. Ada cinta yang menyanggah matanya!”

__Ahyar Anwar,
dalam Lovesomnia-Kisah Tak Berwajah__

“Ruang sastra ini tentu tidak menyeruak begitu saja dengan konfigurasinya yang sekarang ini. Ia muncul sebagai produk sebuah proses historis, lalu tumbuh secara progresif menjadi lebih otonom.”

__Pascale Casanova__
perempuan kritikus berkebangsaan Prancis


Ritme Awal Sejenak

Semoga pertemuan ini menjadi momen untuk membingkai banyak mimpi akan semerbak kenangan bersama sastra yang kita rindukan. Semoga saat ini terbumikan suatu kali ketika menjadi pertemuan sederhan tapi tak biasa dalam sebuh risalah tentang kita, tentang sastra, dan tentang cinta.

Memperbincangkan sastra pada hakikatnya adalah upaya menelisik secara detail permukaan sastra untuk memasuki kedalaman makna yang terkandung dalam sastra. Sastra terbangun dengan permukaan yang unik, permukaan ini menampakkan aura estetika yang kompleks. Kempleksitas estetika ini merupakan pintu sekaligus jejaring yang membungkus kedalaman dunia makna yang tersembunyi jauh di dalam sastra. Sastra terkadang tampil dengan permukaan yang dangkal tapi sesungguhnya menyodorkan makna yang dalam. Tak ada karya sastra yang tak menawarkan makna, sama seperti tak ada cinta yang tak menyuguhkan rindu dan airmata.

Secara sederhana, kita dapat menelisik sastra dari segi etimologis dan arti harfiahnya. Dalam berbagai sumber tertuliskan bahwa cecara etimologis kata sastra berasal dari bahasa sansekerta, dibentuk dari akar kata “sas” yang berarti mengarahkan, mengajar dan memberi petunjuk. Akhiran –“tra” yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk.

Secara harfiah kata sastra berarti huruf, tulisan atau karangan. Kata sastra ini kemudian diberi imbuhan su- (dari bahasa Jawa) yang berarti baik atau indah, yakni baik isinya dan indah bahasanya. Selanjutnya, kata susastra diberi imbuhan gabungan ke-an sehingga menjadi kesusastraan yang berarti nilai hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya.

Batasan sastra menurut Plato adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.

Aristoteles murid Plato memberi batasan sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasa yang bermaterikan kata-kata dan bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang.

Estetika Permukaan dan Kedalaman Makna Sastra

Estetika permukaan yang membungkus makna dan warna dunia dalam dunia sastra dapat dipahami sebagai permukaan yang menawarkan kenikmatan struktur kata, pola alur cerita terstruktur yang menawarkan kejutan-kejutan yang tak terduga, narasi konflik kisah yang rumit, dan akhir kisah yang menyentuh jantung emosional hingga menusuk tepat ke dalam nalar pembaca. Selain beberapa hal tersebut, yang saya tunjukkan sebagai ke-estetik-an permukaan sastra, masih banyak hal sederhana dalam sastra (puisi, cerpen, novel) yang bisa kita identifikasi sebagai pola estetik permukaan sastra.

Selanjtnya, sastra sebagai peniruan atau deskripsi tentang kehidupan dunia nyata (mimesis) selalu bertolak dari fakta konkrit yang dirujuknya. Fakta kehidupan manusia tentang kebahagiaan, airmata, rindu, cinta, penghianatan, kebencian, dan kematian, telah menjadi unsur yang selalu diminiaturisasi dalam struktur karya sastra.

Fakta-fakta kehidupan manusia di atas dapat kita gali dan kita kaji dalam berbagai puisi, cerpen, dan novel yang terkombinasi dalam rongga sastra. Pada tahapan selanjutnya menyodorkan makna yang bisa didalami, diadaptasi, dan diinternalisasikan dalam diri pembaca dalam kompleksitas pola sosialitas temporal yang tak terkendali.

Di balik keestetikan permukaan sastra terselubung jauh ruang dunia. Dunia di balik teks, dunia banyak jiwa, dunia cinta, luka, dan airmata yang dinamis yang menyembul melalui satu-satunya jalan menjelmakan diri menjadi “teks” sastra. Dunia di balik teks ini adalam ruang sastra yang setia menjaga warna kelabu jingga dramatika kehidupan manusia yang terbentuk dari fase sejarah epik. Dikatakan epik karena segala sesuatu yang terpola dalam sastra (puisi, cerpen, novel) diramu dari dramatika tragedi istimewa manusia (luka, airmata, rindu, cinta, kematian) dan coba dipoles dengan keunikan artistik wajah kehidupan berbau “bahagia” yang sesuangguhnya tak ada. Dramatika istimewa manusia dan keartistikan wajah kehidupan merupakan kombinasi dua unsur dalam setiap karya, dan hanya sedikit karya sastra yang bertahan karena dramatika tragedi istimewa manusia yang terbumikan secara jujur dan bersahaja.

Ke-estetik-an permukaan dan kedalaman makna sastra adalah bangunan yang menampilkan polesan tekstur yang membungkus dunia maknanya. Larut di depan ke-estetik-an makna sastra terkadang membuat kita lamban, bahkan gagal, memasuki dunia maknanya. Sebaliknya, seseorang yang telah memasuki kedalaman makna sastra adalah diri yang terhempaskan ke dalam perjalanan pengembaraan menjumpai wajah dunia di balik teks sastra. Ini merupakan perjalanan mendebarkan yang terkadang berujung pada “ketersesatan romantik” saya dengan dunia yang ditawarkan oleh sebuah karya sastra.

Eksistensi kita, Eksistensi Sastra

Eksistensi kita adalah keberadaan kita, asumsi sederahana ini dapat juga kita sandarkan pada sastra, bahwa eksistensi sastra adalah keberadaan sastra. Lalu bagaimana dengan eksistensi kita, eksistensi sastra?

Anda bisa meramu jawaban sederhana untuk pertanyaan di atas. Siapapun bisa merumuskan jawaban, lebih-lebih para pencinta sastra dan creator sastra. “Eksistensi kita, Eksistensi sastra” adalah rumusan yang disandarkan pada mereka yang berjiwa sastra (kreator, kritikus sastra) dan mereka yang menemukan dunianya (penikmat sastra) dalam dunia yang diusung sastra.

Keberadaan kita adalah keberadaan sastra merupakan momen keterjalinan eksistensial antara individu dengan sastra yang tidak terpisahkan mewujud dalam konteks keberadaan diri yang benar-benar mencerminkan satu sama lain, seperti keterjalinan sastra dengan individu-individu yang beragam dalam narasinya (sastra). Kita perlu mencari keterjalinan antara diri kita dengan sastra, yang melebur-saling mengisi, sebab sudah sejak lama sastra hadir di depan kita dengan penegasan bahwa “dirinya” adalah bagian dari kita.

Sulit memngimajikan sebuah dunia sastra tanpa karakter-karakter tokoh dan dinamika kehidupan yang menyertai dalam sebuah struktur narasi sastra. Sehingga sastra tidak bisa dilepaskan dari setiap lakon kehidupan dalam dunianya. Hal yang sama kita butuhkan untuk membumikan eksistensi kita adalah eksistensi sastra. Pada titik ini, kita butuhkan ikon kolektif yang selalu dinamis bergerak membumikan eksistensi sastra. Untuk menjawab hal ini, kita perlu menjawab beberapa tuntutan kebutuhan mendesak, yaitu kehadiran lembaga sastra sebagai mesin yang dinamis dan tidak antikemanusiaan, kehadiran manusia penggerak lembaga sastra yang humanis, kelahiran kreator sastra yang konsisten terhadap semua konsekwensi kepengarangan, dan kehadiran kritikus sastra yang menolak kemewahan.

Beberapa tuntutan kebutuhan ini akan dijelaskan pada pertemuan diskusi selanjtnya, tentu di senja yang berbeda dan dengan suasana hati saling merindukan yang tak jauh berbeda. Semoga pertemuan ini menjadi tautan kenangan terwangikan.

Sebagai penutup, bukalah hati dan nalar Anda, saya ingin menitipkan sebuah kutipan dari Kirkegaard, bahwa “kita terus-menerus dalam sebuah proses menjadi, menjadi diri kita, kita selalu dituntut untuk tidak menjadi diri kita yang dulu.” Anda bisa membaca kutipan ini dalam Menidurkan Cinta karya Ahyar Anwar. Sekarang, bawa pulang kutipan ini beserta apa yang telah kita perbincangkan, yang tak mencenungkan diri untuk merenungkannya adalah diri yang kehilangan nalar, kehilangan hati, diri yang masih tertidurkan dalam rutinitas keseharian.


Ditulis di Asrama Mahasiswa Halmahera Selatan Makassar
tanggal 04 Juli 2010, Pukul 12.37

Post a Comment

0 Comments