Anyaman Rindu Di Balik Nisan

Oleh : Mariana Ulfa Daeng Ca’di

Aku hanya ingin belajar menganyam kepingan abjad menjadi sehelai benang makna hidup yang tak putus dan mengambil ilmu tuhan yang berserakan di pucuk-pucuk waktu. Bila dengan itu aku bisa menyaksikan senyuman merekah di wajahmu dan meraba batinmu.
* * * * *

Seorang anak kecil membaringkan kepalanya di pangkuan ibunya. Setiap kali anaknya membaringkan kepalnya, ibunya sering bercerita banyak tentang kehidupan dunia yang penuh warna pelangi sampai anaknya terlelap dalam pangkuan kedamaian. Ia tak pernah letih bercerita kepada anaknya. Meski terkadang ia sayup menahan lelap yang menempel di ke dua bola matanya.

”Lihatlah anakku,
Matahari tak pernah letih menyodorkan sinarnya,
Bulan dan bintang selalu menawarkan perdamaian,
Tuhan maha bijak melebarkan sayap dan fikiran manusia,
Suara panggilan jiwa suci memanggilmu dari puncak harapan dan kerelaan dengan memberikan kabar gembira menjadi wanita paling bahagia,
Bidadariku, kemulian hanya akan diberikan kepada meraka yang bersabar ,
Orang yang berfikir tidak akan jera untuk mendapatkan manfaa berfikir, tidak putus asa karena suatu keadaan, dan tidak akan pernah berhenti berfikir dan berusaha,
Ingatlah itu anakku ”.
Kalimat yang termuntahkan dari mulut ibu tidak ku mengerti. Yang aku tahu bahwa ibu sudah mengenal betul kehidupan dunia dan sudah banyak merasakan asam garam kehidupan.

Aku masih terdiam di pangkuan ibu. Aku berusaha memahami setiap kalimat yang dilontarkan dari mulut ibu. Perlahan tapi itu pasti.
Aku kembali terdiam di sudut waktu, diantara rumah-rumah kecil dan taman masa lalu yang menyimpang banyak kenangan bersama ayah dan ibu. Sejak ayah dipanggil oleh sang pencipta untuk selama-selamanya aku di besarkan oleh ibu seorang diri. Tempat inilah yang menjadi saksi bahagia dalam keluargaku. Bagiku sebagai seorang anak, kehidupan masa lalu dan masa sekarang ini adalah sebuah kenangan yang selamanya akan tetap hidup, meski wujud seorang ayah tidak ada lagi di sampingku menemani hari-hariku bersama ibu.
* * * * *

Hari ini terasa ada sepenggal duka menggores di langit angan-angan. Ketika aku menghitung jari-jari waktu dan balon kecil yang terlepas dalam jiwa. Tidak terasa sungai kecil mengalir dari kedua bola mataku. Aku menatap sekelilingku. Bernafas dengan luka. Aku seakan melihat tatapan ibu kepadaku yang penuh makna memikul segala duka. Tumpukan harap menumpuk dalam setiap nafasnya. Aku begitu merasakan beban seorang ibu. Walaupun ibu tidak pernah mau menampakkannya dihadapanku. Kalaupun ada yang nampak di hadapanku, itu adalah kebahagiaannya yang berselimut kegelapan.begitulah ibu. Namun, sepandai-pandainya ibu menutup rapat semua itu di hadapanku, seorang anak sepertiku yang sudah puluhan tahun bersama ibu mampu melihat dan merasakan apa yang dirasakan oleh ibu.
Ibu sudah banyak bercerita tentang kehidupannya bersama ayah dulu setiap kali aku berbaring dipangkuannya. Bagaimana ibu dan ayah yang tidak diterima di tengah keluarga masing-masing. Yang di benci dan diasingkan dari keluarganya sendiri. Sampai pada akhirnya maut memanggil ayah.
Masalah yang terjadi dalam keluargaku memang rumit. Tetapi, apa harus dengan jalan seperti ini? Bahkan sampai sekarang ayah dan ibu menjadi otak kebencian di keluargaku. Entah sampai kapan kebencian akan terus bersemayam kepada ayah dan ibu. Bahkan terhadap aku sendiri.
Ibu pernah bercerita kepadaku tentang penyebab mengapa mereka diasingkan dari keluarga. Kedudukan yang berbeda antara ayah dan ibu yang membuat keluarga kami tidak cocok. Kamu tahu bahwa ayah adalah seorang laki-laki dari keluarga yang tidak punya apa. Sedangkan ibu adalah keluarga dari keturunan ningrat. Orang tua ibu tidak pernah merestui hubungan ayah dan ibu. Bahkan orang tua ibupun sudah menjodohkan ibu dengan laki-laki dari keturunan ningrat . Namun ibu tidak pernah setuju dan mencintai laki-laki pilihan orang tua ibu. Suatu hari terjadi pertengkarang hebat antara ibu dan orang tua ibu karena aku tidak mau menikah dengan laki-laki pilihannya. Sampai pada akhirnya ibu diusir keluar dari rumah. Inilah yang menjadi penyebab dari semuanya. Aku ingat betul perkataan ibu. Seperti itulah kejadiannya.
Sebagai seorang anak, Aku mungkin belum terlalu paham dengan kehidupan ini seperti ibu. Tetapi, apa yang salah dari ayah dan ibu? Bukankah mereka saling mencintai dan saling menjaga. Bukankah tuhan selalu menebarkan cinta kepada ummatnya. Lalu mengapa ayah dan ibu terasingkan dengan hal itu. Apakah harta, tahta dan kedudukan selalu menjadi jaminan akan kebahagiaan seseorang ?
Aku tidak pernah memahami arti masa depan yang bergeletak ditengah beberapa orang. Meski ibu selalu mengajari aku dan memberi pemahaman kepadaku. Tetapi, aku berkata demikian karena aku sadar bahwa diantara harapan yang kutanam, masih ada harapan-harapan lain yang tercipta. Karena meski keyakinan itu ada, aku terus saja dihantui dengan masalah-masalah yang aku sendiri tidak tahu jumlahnya. Rasa bahagia menyelimuti tanda yang terungkap. Ada rasa haru yang bergulir dan rasa rindu yang tidak terlepas dalam keluargaku. Itu yang kini telah kurasakan.
Sampai kapan kebencian tertancap pada keluargaku?
Apakah ini akan berakhir jika aku dan ibu dijemput oleh nisan ayah. Mungkin juga sampai zaman lapuk dari keberadaannya. Entahlah ?
Kenyataan yang begitu pahit harus kuterima untuk aku dan ibu. Perempuan yang terasingkan. Namun, aku salut pada sosok wanita yang usianya sudah senja seperti ibu. Kesabaran dan ketulusan hati yang dimilikinya menjadikan dirinya sebagai seorang wanita yang kuat. Bahkan tidak pernah membuat hatinya benci ataupun dendam kepada orang-orang yang membenci dirinya dan ayah. Justru kebencian yang ia terima dari keluarga dijadikan kedamaian dalam jiwanya.
Waktu memang telah membuatku berubah. Sementara aku tidak mempunyai kekuatan untuk menahan ataupun menghalangi apa yang semestinya terjadi pada diriku. Sama tidak mampunya siapapun menahan giliran sang waktu. Namun, bumi mulai rebah. Meski amat berlahan, meski amat samar. Tetapi halusinasiku seolah berkata bahwa perubahan itu adalah sebuah isyarat sebentar lagi kau akan berlalu dan berucap seonggok kata maaf untuk keluargaku. Hal itu tidak akan mampu disesali kalau memang itu terjadi. Dan aku tidak akan membiarkan ibu untuk menangis lagi. Walau aku dan ibu harus menutup luka, meredam dan kehilangannya. Aku yakin hari esok akan menghapus semua mimpi buruk, mengusir semua kesedihan, dan menggantinya dengan canda dan tawa. Walau aku berada ditengah-tengah badai angin topan. Hidup adalah ujian yang datang silih berganti. Seseorang harus mampu keluar dari ujian itu sebagai pemenang. Jika engkau menyerahkan hidupmu kepada keputusan, maka engkau tidak akan tahu apa-apa dan tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Jangan pernah menjadikan kesusahan dan kesedihanmu sebagai tema pembicaraan, karena dengan demikian engkau akan menjadikannya sebagai penghalang antara dirimu dan kebahagiaan. Perubahan dari kesalahan kepada kebenaran adalah pertarungan yang panjang. Namun, itulah keindahan.
* * * * *

Sepotong sajak yang termuntahkan dari mulut ibu membuatku mengerti akan sebuah kesabaran,ketulusan dan pengorbanan untuk sebuah kebahagiaan.
“ Bila dengan kebencian aku bisa masuk dan menjelma dalam nuranimu
Biarkan aku bersatu dengan kebencian itu
Bila dengan keterasingan aku dapat meraba batinmu
Biarkan aku masuk di dalamnya
Dan dengan luka itu aku bisa menyaksikan senyummu
Tak akan kubalut lukaku dengan benci dan dendam
Walau aku harus bernafas dengan luka
Jika kematianku memberi kedamaian untukmu
Aku akan belajar temui kematian itu
Hingga kau tidak terusik lagi dengan hadirku “.
Ayah dan ibu sama-sama telah membuktikan. Mereka tidak menyerah untuk menyatukan cinta meski jarak dan waktu sulit menjadi milik mereka. Kepergian ayah yang bukan menjadi kehendaknya berpisah dari ibu dan keluarga tahu di mana rumah mereka. Tidak lain adalah di masing-masing hati mereka.

Makassar, 10 November 2009
Pahit itu obat. Sakit itu baik. Belajarlah hidup bersama ketakutan karena dengan itu kau akan temui kebahagiaan

Post a Comment

0 Comments