Dermaga Rindu

Oleh: Rahman Mbojo Ipass

Aku bingung entah apa yang ingin kuatir dengan tinta hitam. Seiring dengan berlabu senja maka kini kumulai dengan tangis cinta dari anak separuh baya. Samsul anak yang cukup sederhana dalam lingkup hidup modern. Perjalanan hidupnya laksana air terjun yang jatuh dari pusara tebing yang menjulang. Setiap hati ia melihat sekelompok bidadari yang mengelilinginya dalam kawah air terjun itu. Anak ini berusia 12 tahun ia bertanya pada sang rembulan malam apa yang harus dipersembahkan untuk ibunya kelak, sejenak ia beputar mungkin hanya waktu yang menjawab, dalam hati pemuda berkata. Mentari muncul tampakkan sinarnya tanda bahwa ia harus pergi sekolah mencari setitik ilmu bersama dengan kawan-kawannya sampai di sekolah ia masuk dan mengikuti mata pelajaran dari gurunya, sepulang dari sekolah ia selalu membantu orang tuanya mencari nafkah untuk keluarga. Inilah kegiatan sehari-hari yang ia geluti dan selain menarik dokar ia juga mencari rumput di padang sawah, namun tidak sedikitpun kelelahan yang ia rasa dalam kesetiap harinya, karena ia merasa bahwa mungkin ini yang mampu ia lingkapkan tentang pengorbanan sang anak pada orang tuanya.



Beberapa hari kemudian ia mulai beranjak dewasa dan bukan kanak-kanak lagi, anak ini pun mulai memahami apa sebenarnya arti hidup yang sedang ia lewati dalam kehidupan saat itu, walaupun ia selalu di bentuk dan dipukuli dan lain sebagainya namun perlahan ia sadar bahwa betapa banyak pelajaran yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya selama ia hidup dalam keluarganya yang sederhana namun penuh dengan canda tawa sehingga ia sesekali berpikir bahwa hidup sederhana sangat berarti besar ketika kita ingin menjadi orang yang sukses, bagi mereka sebenarnya hidup dalam lingkup kesederhanaan. Namun tidak jarang teman-teman sebayanya berkata apa kamu tidak malu menggeluti profesi ini, anak ini pun berkata sebenarnya mana yang kita pilih menjadi maling atau seperti aku, yang setiap hari menarik dokar, mencari rumput dan masih banyak lagi? Seketika merekapun diam tak berujar sepatah kata pun dari mulut temannya yang bertanya padanya. Merekapun meninggalkan anak ini dan kembali bermain anak inipun tak pernah merasa kesepian karena dia selalu bahagia dengan apa yang menjadi profesinya. Jikalau sore telah tiba dan senja telah meninggalkan pengatnya dunia dan akan kembali diesok hari, malampun tiba. Seusai baddah Isa anak ini pun kembali membuka-buka pelajaran sejenak, dan setelah itu barulah ia pergi bermain-main dengan teman yang selama hidupnya yang paling mengerti dengan keadaan dia dan selalu mendukung dengan apa yang menjadi pekerjaan sehari-harinya.

Ketika mereka bertemu mereka sangat akrab laksana seperti saudara sendiri walaupun sahabatnya ini tidak bisa mendengar, tidak bisa bicara semua itu tak mampu memutuskan tali persahabatan mereka berdua karena di saat mereka sedih, gembira dan lain sebagainya mereka tetap menjalaninya dengan penuh pengertian dan kalaupun ada persaingan pendapat itu tidak akan pernah lama, mereka selalu saling memahami dan memberi pengertian satu sama lain.

Tibalah saat-saat terakhir oleh karena anak ini punya cita-cita ingin merantau setelah selesai dari bangku SMA. Dalam ke setiap harinya anak ini tidak pernah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa ia akan pergi merantau mereka biasa-biasa saja. Ketika mereka bertemu dan bermain. Ketika hari terakhir di kampung halamannya anak inipun berpikir apa yang harus ia katakan kepada sahabatnya itu, saat malam terakhir iapun memberanikan diri menyampaikan kepada sahabatnya dengan tegar dan mencoba untuk tidak membuat suasana sedih atau apapun, sahabatnyapun mengerti dan mendukung apa yang menjadi cita-citanya, merekapun menikmati malam ditemani bulan yang selalu setia memberikan senyuman kepada mereka dan tak pernah lelah melihat mereka yang sedang bercanda tawa, malampun mulai larut anak inipun pulang. Sebelum pulang mereka saling berpelukan tanda perpisahan anak ini mengajak untuk ikut merantau, namun sahabatnya hanya tersenyum. Pagi pun tiba mentari telah menyapa embun dengan senyuman laksana dua anak manusia yang saling membutuhkan.

Anak inipun segera naik ke kapal dan segera meninggalkan kampung halamannya dengan rasa tidak rela meninggalkan sahabatnya, dalam hati anak ini berkata. Selamat tinggal sahabat, engkau cahaya dalam lentera malam yang tak ujung damai dan pagi yang pernah kita lewati dan suka duka yang pernah kita lewati aku akan kembali bertengger dipelupuk senyuman kecilmu wahai sahabatku, engkau takkan pernah hilang dalam memori panjang persahabatan di ujung dermaga rindu.

Post a Comment

0 Comments